Seperti yang di ulas sebelumnya tentang sebaiknya orang tua jangan melakukan kesalahan ini agar anak terampil dan mandiri ,berikut ini kelanjutanya ,
MELARANG TANPA MENJELASKAN
Dalam soal keselamatan, memang tak boleh ada kata kompromi.
Namun yang sering terjadi, orang tua melarang tanpa memberitahu alasannya.
Apalagi menerangkan fungsinya dengan benar. Contoh, anak memotong kertas dengan
gunting yang biasa dipakai orang tua untuk menggunting kain. Melihat hal itu,
dengan serta merta orang tua merebut gunting tersebut sambil berkata dengan
nada tinggi, "Tidak boleh! Ini bukan gunting mainan!"
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, belajar yang paling baik adalah belajar dengan
benda-benda yang riil. Pisau ataupun gunting menjadi benda berbahaya atau
tidak, tergantung bagaimana kita memperkenalkannya. Kalau kita melarang anak
memegang gunting tanpa menunjukkan fungsi sebenarnya, tentu menimbulkan tanda
tanya pada si anak, "Mengapa, kok, aku enggak boleh main gunting?"
Rasa penasaran ini akhirnya membuat anak malah menggunakan gunting tersebut
untuk hal-hal berbahaya, ketika dia sedang tidak dalam pengawasan orang tua.
Ingat, di usia prasekolah, rasa ingin tahu anak sangat
besar. Anak pun cenderung senang pada sesuatu yang jarang diekspos kepada
mereka, seperi benda-benda tajam itu. Akibatnya, mereka jadi semakin tergoda
untuk mencoba. Tetapi kalau dari awal diberi tahu, "Kak, gunting ini
tajam. Ini bagian gunting yang tajam. Jadi harus hati-hati memegangnya. Kakak
boleh memakai gunting ini, tetapi cara memakainya seperti ini."
Dengan orang tua menjelaskan dan memeragakannya, anak akan
mengerti. Dia pun akan lebih percaya diri saat menggunakan benda tajam itu
karena sudah memunyai kontrol yang bagus.
MENUNGGUI ANAK DI SEKOLAH
Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di sekolah sering
berdalih anaknya belum siap ditinggal. Padahal, ini seperti lingkaran setan.
Setiap anak punya attachment dengan perasaan orang tuanya. Bila ibu "tak
rela" meninggalkan anaknya di kelas, perasaan ini bisa terbaca oleh anak.
Akibatnya, anak pun akan merasa cemas dan akibatnya di kelas menjadi rewel.
Sementara si ibu melihat, dia rewel karena tak bisa ditinggal. Jadi, seperti
lingkaran yang tak terputus.
Penting diingat, faktor kesiapan anak cukup berpengaruh
terhadap keberhasilannya selama menjalani proses belajar di TK. Selain dari
segi usia memang sudah waktunya, si kecil pun harus sudah berkurang
ketergantungannya pada orang lain, terutama orang tua. Kalau ia tak kunjung
siap, bisa setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di kelas.
Padahal, tak setiap TK membolehkan anak ditunggui dan ditemani seperti itu.
Kalaupun boleh, hanya selama beberapa hari pertama saja. Selanjutnya, anak
sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas dan bergabung dengan teman-temannya
sekelas.
Masalah menunggui anak ini sering muncul pada ibu-ibu yang
tidak bekerja. Itu karena sebagai full time mother, waktu mereka sepenuhnya
ditumpahkan dengan selalu menghabiskan waktu bersama anak. Sebelum masa
sekolah, si ibu bisa membawa anaknya ke mana-mana. Begitu anak sekolah,
hubungan ini jadi terputus. Mungkin secara psikologis, si ibu kehilangan
identitas diri, sehingga terus berusaha mengupayakan hubungan dengan anak,
dengan cara mendampinginya terus, termasuk menunggui di sekolah.
Padahal bila terus ditunggui, rasa percaya diri anak menjadi
tidak berkembang. Ia tidak kunjung yakin bisa menjaga dirinya sendiri. Padahal
di usia prasekolah, penting bagi anak untuk punya perasaan otoritas, yaitu
kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.
Selain itu, situasi ini bisa membingungkan anak karena di
satu pihak, dirinya selalu ditunggui dan diawasi oleh ibu, tapi di lain pihak,
ia juga dituntut kemandiriannya. Misal, harus makan sendiri, mandi sendiri dan
lain-lainnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Berhentilah menunggui anak di sekolah. Bila tindakan ini tak
bisa dilakukan secara langsung, maka lakukan secara bertahap. Misalnya, hanya
lima belas menit pertama saja ia ditunggui, setelah itu tinggalkan sampai
waktunya dijemput.
Ada juga kasus anak sudah mau ditinggal tapi suatu waktu ia
ingin ditunggui orang tuanya di sekolah dengan alasan bermacam-macam. Dalam hal
ini, boleh saja orang tua menuruti keinginan anak tetapi tak perlu menungguinya
sepanjang waktu. Cukup selama 15 menit pertama (di kelas atau di dekat jendela
kelas bila diizinkan) setelah itu menyingkirlah ke area yang tidak terlihat
anak.
Bila ibu memang "tak sanggup" berpisah dari
anaknya, cobalah lakukan kegiatan bermanfaat di sela-sela waktu menunggu. Di
antaranya, ibu bisa mengajukan diri ke pihak sekolah sebagai volunteer
(sukarelawan), misalnya menjadi story teller (pencerita di kelas) atau menjadi
koordinator kegiatan sosial yang diadakan sekolah.
MEMBERI BANYAK MAINAN TAPI TAK PERNAH MENEMANI BERMAIN
Boleh saja memberikan banyak mainan kepada anak, tetapi
apalah artinya itu semua bila orang tua tak pernah menemani anak bermain.
Sering orang tua berdalih, "Toh, anak sudah dibelikan mainan yang bersifat
edukatif." Contohnya, pasel atau permainan balok susun. Padahal, tanpa
pendampingan orang tua, anak tak mampu mengerti fungsi mainan tersebut.
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, apa pun jenis mainan yang diberikan kepada anak,
tak jadi soal. Termasuk robot-robotan dan senjata yang kerap digolongkan bukan
mainan edukatif. Justru lebih baik anak memainkan kedua mainan tersebut tetapi
didampingi orang tua ketimbang memainkan mainan edukatif tetapi si anak
dibiarkan bermain sendirian.
Pasalnya, dengan orang tua mendampingi anak bermain, minimal
orang tua dapat mengenalkan sesuatu yang baru pada anak lewat media mainan.
Saat anak bermain pistol-pistolan, orang tua bisa menjelaskan kegunaan senjata
tersebut bahwa pistol digunakan bukan untuk tujuan sadisme tetapi untuk tujuan
lain yang lebih positif, misal.
Dengan kata lain, mainan apa pun bisa menjadi edukatif
selama orang tua bisa menggunakan mainan tersebut sebagai media untuk
menyampaikan pesan-pesan kepada anak. Terlebih di usia prasekolah dimana
penanaman nilai-nilai sosial banyak diperkenalkan, mainan bisa menjadi media
yang efektif.
ANAK TAK DIBIASAKAN MEMILIH
Di usia 4 tahun, anak mulai punya dorongan untuk melakukan
apa-apa sendiri. Mereka berada pada tahap otoritas atau ingin menunjukkan siapa
aku. Kemampuan kognitif yang meningkat dengan cepat juga mendorong mereka untuk
selalu ingin melakukan apa-apa sendiri. Tetapi karena masih belajar, tentu
butuh bimbingan orang tua. Yang paling baik, anak diberikan pilihan-pilihan,
lalu diajarkan bertanggungjawab pada pilihannya. Namun yang kerap terjadi,
orang tua justru bertindak sebaliknya.
Segala sesuatu untuk anak dipilihkan dan diputuskan sendiri
oleh orang tua tanpa melibatkan anak. Sikap orang tua yang seperti ini sungguh
tak baik dampaknya buat perkembangan anak. Salah satunya, anak jadi tak bisa
menentukan pilihan. Ia cenderung mengekor pada pilihan dan keputusan orang
lain. Kasihan, bukan?
TINDAKAN YANG BENAR:
Penting mengajari anak untuk memutuskan pilihannya sendiri.
Contoh, memilih baju yang akan dipakainya setelah mandi, pergi ke mal, atau
baju tidur. Bila orang tua khawatir pilihan anak tidak cocok, maka orang tua
bisa memberikan beberapa alternatif pilihan, "Kakak mau pakai kaos merah
atau blus kembang-kembang kuning ini?"
Tentunya, untuk hal-hal yang sifatnya berbahaya, orang tua
tak bisa memberikan pilihan. Tetapi anak harus dijelaskan, mengapa ia tak boleh
bermain dengan menggunakan gunting milik orang tua, misal. Kemudian berikan
alternatifnya, yaitu gunting yang dirancang khusus untuk anak. Tetapi
bermainnya dengan didampingi orang tua.
Dengan begitu, anak terpuaskan. Dia pun tahu, mengapa ada
hal-hal yang boleh dan tidak boleh, terutama yang berkaitan dengan keselamatan.
Bila perlu, buatlah daftar hal-hal yang masih bisa dikompromikan dan yang
tidak. Jabarkan semuanya kepada anak. Dari sini anak bisa melihat, "Meski
aku enggak boleh melakukan A, tetapi aku boleh melakukan B." Anak juga
belajar, tidak semua yang diinginkannya akan dia peroleh.
Memberikan kesempatan memilih pada anak bukan cuma
mengajarkan kemandirian, tetapi juga membuat anak merasa dihargai karena boleh
memilih dan dipercaya menjalankan pilihannya. Dengan terbiasa diberi pilihan,
anak juga akan belajar bertanggungjawab pada pilihannya.
(dari berbagai sumbur ,semoga berfanfaat )
0 komentar:
Posting Komentar