Gambar Ilustrasi.
Strategi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada periode 2014-2019 tidak semata-mata pada terbentuknya insan pendidikan yang cerdas, tapi juga ekosistem pendidikan yang cerdas dan berkarakter dengan dilandasi semangat gotong royong.
“Ini sesuai misi Presiden yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya membikin anak pandai dan cerdas, tapi juga membuat kehidupan warga yang cerdas. Jadi yang harus dicerdaskan itu ekosistemnya, “ kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Ir. Harris Iskandar, Ph.D, saat pembukaan Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga di Bogor, Senin, (5/10/2015) kemarin.
Atas strategi itulah, kata Harris, dibentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, yang salah satu aksinya adalah penguatan ekosistem pendidikan. “Kita akan perkuat para pelaku pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, komite sekolah, orang tua, dan juga ada pegiat pendidikan yang aktif dalam community development, “katanya.
Khusus peran orang tua, dikatakan Harris, harus ditempatkan pada proporsinya sebagai pelaku pendidikan yang selama ini dianggap banyak sekolah sebagai pihak yang selalu merepotkan dan merecoki sekolah. “ Keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran di sekolah itu penting dan karena itu harus dilindungi, “tegas mantan Direktur Pembinaan SMA ini.
Menurutnya, pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga juga untuk merespons situasi pendidikan saat ini, yakni dimana orang tua cenderung menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak pada sekolah, padahal waktu anak di sekolah sangat terbatas. Efeknya, ada ruang kosong saat si anak usai pembelajaraan di sekolah yang lantas dimanfaatkan pihak luar dengan mencetuskan ide-ide yang seharusnya dihindari. “Salah satu contohnya adalah rencana pagelaran pesta bikini setelah Ujian Nasional beberapa waktu lalu. Sekolah tidak mengantisipasinya,sementara orang tua sudah menyerahkan urusan anak ke sekolah, “katanya.
“Itu salah satu contoh, betapa komunikasi antara sekolah dengan orang tua perlu dirajut kembali. Selama ini, orang tua menyerahkan anak ke sekolah. Ini perlu dievaluasi kembali. Monitoring anak itu mutlak 24 jam, perlu ada harmonisasi perhatian sehingga anak itu mendapatkan sinyal yang sama antara di sekolah dengan di keluarga. Jangan sampai apa yang diajarkan di sekolah ternyata lain dengan kenyataan di keluarga, lain pula di masyarakat. Inilah perlunya penguatan ekosistem pendidikan, “jelas Harris.
Oleh:(Yanuar)
sumber: http://paudni.kemdikbud.go.id/berita/7379.html
Strategi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada periode 2014-2019 tidak semata-mata pada terbentuknya insan pendidikan yang cerdas, tapi juga ekosistem pendidikan yang cerdas dan berkarakter dengan dilandasi semangat gotong royong.
“Ini sesuai misi Presiden yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya membikin anak pandai dan cerdas, tapi juga membuat kehidupan warga yang cerdas. Jadi yang harus dicerdaskan itu ekosistemnya, “ kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Ir. Harris Iskandar, Ph.D, saat pembukaan Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga di Bogor, Senin, (5/10/2015) kemarin.
Atas strategi itulah, kata Harris, dibentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, yang salah satu aksinya adalah penguatan ekosistem pendidikan. “Kita akan perkuat para pelaku pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, komite sekolah, orang tua, dan juga ada pegiat pendidikan yang aktif dalam community development, “katanya.
Khusus peran orang tua, dikatakan Harris, harus ditempatkan pada proporsinya sebagai pelaku pendidikan yang selama ini dianggap banyak sekolah sebagai pihak yang selalu merepotkan dan merecoki sekolah. “ Keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran di sekolah itu penting dan karena itu harus dilindungi, “tegas mantan Direktur Pembinaan SMA ini.
Menurutnya, pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga juga untuk merespons situasi pendidikan saat ini, yakni dimana orang tua cenderung menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak pada sekolah, padahal waktu anak di sekolah sangat terbatas. Efeknya, ada ruang kosong saat si anak usai pembelajaraan di sekolah yang lantas dimanfaatkan pihak luar dengan mencetuskan ide-ide yang seharusnya dihindari. “Salah satu contohnya adalah rencana pagelaran pesta bikini setelah Ujian Nasional beberapa waktu lalu. Sekolah tidak mengantisipasinya,sementara orang tua sudah menyerahkan urusan anak ke sekolah, “katanya.
“Itu salah satu contoh, betapa komunikasi antara sekolah dengan orang tua perlu dirajut kembali. Selama ini, orang tua menyerahkan anak ke sekolah. Ini perlu dievaluasi kembali. Monitoring anak itu mutlak 24 jam, perlu ada harmonisasi perhatian sehingga anak itu mendapatkan sinyal yang sama antara di sekolah dengan di keluarga. Jangan sampai apa yang diajarkan di sekolah ternyata lain dengan kenyataan di keluarga, lain pula di masyarakat. Inilah perlunya penguatan ekosistem pendidikan, “jelas Harris.
Oleh:(Yanuar)
sumber: http://paudni.kemdikbud.go.id/berita/7379.html
0 komentar:
Posting Komentar