Sering kita melihat Orang tua yang memaksa bahkan mencubit
anaknya karena tidak mau terlibat dalam pembelajaran dan asyik bermain balok
dan mainan lainnya.dan ada juga orang tua yang membatalkan rencana anaknya
belajar tamasya, alasannya, karena Anaknya ikut les privat membaca dan
matematika.
Kejadian di atas adalah sebuah realita di sekitar kita.
Bahkan mungkin sebenarnya lebih parah dari itu. Karena masih banyak orang tua
yang belum memahami hakikat pendidikan anak usia dini, bisa jadi pada
kenyataannya masih banyak para pendidik anak usia dini sendiri yang belum faham
tentang hakikat pendidikan anak usia dini. Terlebih lagi para orang tua yang
tidak memiliki latar belakang keilmuan tentang pendidikan anak usia dini.
Kebanyakan mereka terlalu memaksakan anaknya untuk ”belajar” sesuatu dengan
metoda konvensional yang diterapkan untuk orang dewasa saja sudah tidak efektif
lagi. Duduk, diam, dengarkan, tulis dan bacakan kembali, itulah yang dikatakan
sebagai belajar. Jika diterapkan pada orang dewasa mungkin mereka mampu protes
dan menuntut tehnik pembelajaran lain yang lebih menarik. Tapi apa daya
anak-anak, mereka tidak bisa melawan. Apalagi dengan ancaman cubitan atau
bahkan pululan.
Sebuah Teori Tabularasa memang menyatakan bahwa anak-anak
diibaratkan seperti kertas kosong yang bisa diisi apapun. Ya, memang benar,
demikian luar biasanya anak-anak, sampai-sampai mereka bisa menghafal banyak
hal di luar kepala. Dengan asumsi tersebut, beramai-ramailah orang tua mengisi
kertas kosong tersebut. Dan akhirnya, anak-anak pun tumbuh seperti kertas
berisi berbagai ilmu yang kumpulannya bisa membentuk sebuah buku. Mungkin
terlihat tebal dan pintar. Tapi kaku dan pasif. Tak bisa bergerak dan
berbuat.
Wahai para orang tua, mereka bukanlah kertas. Mereka bukan
pembelajar pasif. Tapi mereka pembelajar aktif. Tahukah wahai para orang tua,
banyak teori belajar lain yang lebih moderen telah dilahirkan. Teori
konstruktivisme menyatakan bahwa anak adalah pembelajar aktif. Setiap pori-pori
tubuh mereka menyerap apa yang mereka lihat, dengar, sentuh, dan apapun yang
berinteraksi dengan mereka. Hebatnya lagi, mereka menganalisis dari setiap
interaksi mereka dengan lingkungannya. Tapi sayang, kehebatan itu kita
sia-siakan. Kita patahkan dengan tehnik belajar yang tidak sesuai. Mereka kita
bentuk, bukan kita arahkan. Mereka kita isi, bukan kita fasilitasi. Strategi
belajar terbaik bagi mereka adalah adalah apa yang kita namakan dengan bermain.
Bukan duduk, diam, dengarkan dan hafalkan.
Orang tua pasti bangga ketika anaknya yang masih usia
TK/PAUD sudah bisa membaca dan berhitung. Orang tua pasti semakin bangga ketika
anaknya yang masih kecil itu bisa menghafal berbagai kosa kata dalam bahasa
Inggris. Orang tua pasti lebih bangga lagi jika memiliki anak yang selalu
menurut ketika di suruh duduk di meja belajar menghafalkan segala sesuatu yang
dianggap perlu. Mengikuti berbagai les yang melelahkan. Tapi tahukah anda wahai
para orang tua, bahwa kebanggaan anda, bahwa kebahagiaan anda sungguh membuat
anak-anak anda menderita!
Orang tua pasti jengkel ketika ada anaknya yang aktif
bergerak, menaiki meja, memegangi benda yang menarik dan baru dilihatnya,
menggigit dan mengulumnya atau membongkar mainan yang baru di beli. Orang tua
pasti semakin jengkel ketika ada anaknya yang menggambar tidak sesuai dengan
perintah ibu gurunya. Orang tua pasti sangat jengkel ketika ada anaknya yang
terus menerus bertanya tentang sesuatu yang dia lihat. Orang tua pasti lebih
jengkel lagi ketika rumah berantakan setelah anaknya dan teman-temannya bermain
dokter-dokteran. Orang tua pasti sangat lebih jengkel lagi ketika anaknya lebih
asyik bermain galah di lapangan atau sekedar bermain sepak bola dari pada duduk
di meja belajar dan membaca.
Tapi tahukah anda bahwa
seharusnya anda berbahagia karena anak anda bahagia dan karena kelak dia akan
tumbuh menjadi individu yang kreatif dan cerdas. Karena sesungguhnya
ketika dia sedang membuat anda jengkel, dia sedang belajar. karena bermain
adalah belajar bagi anak usia dini @
0 komentar:
Posting Komentar