Oleh: Wisnu Nugroho
"Lebih baik terlambat daripada terlambat banget." Begitu guyonan yang saya jumpai di kaus oblong yang dijajakan di emperan toko Jalan Malioboro, Yogyakarta, dan laris dibeli wisatawan, Kamis (5/5/2016) lalu.
Oblong itu laris tidak hanya karena harganya Rp 25.000, tetapi lantaran pesannya membuat rileks. Beberapa orang wisatawan yang melintas tersenyum sebelum memutuskan membeli oblong itu.
Rasa bersalah karena tuntutan ketepatan waktu di dunia yang hitung-hitungan dan diwarnai ketegangan, berkurang setelah membaca tulisan di oblong itu. Yogyakarta lihai untuk kejenakaan menertawakan kecenderungan dunia macam begini.
Saya juga tersenyum ketika mendapati tulisan di oblong itu. Tulisan di oblong itu mewakili semangat saya untuk menghabiskan waktu libur empat hari "hanya" bersama salah satu anak lelaki saya yang usianya tujuh tahun.
Antara 4-8 Mei 2016, saya habiskan sebagian besar waktu bersama anak lelaki saya dalam rangkaian "Jogja Mini Touring".
Betul bahwa kami tidak sendiri. Ada 18 mini klasik buatan tahun 1961-1990 yang ikut serta menempuh rute sejauh 1.500 kilometer dari Jakarta-Yogyakarta-Jakarta.
Namun, dalam perjalanan dan rangkaian kegiatan termasuk bakti sosial itu, saya lebih banyak memilih berdua saja dengan anak lelaki saya karena niat yang sudah saya tetapkan.
Niat itu muncul sejak lama meskipun kerap tenggelam. Niat itu muncul lagi dan seperti minta diwujudkan setelah saya membaca artikel "Why every father should bring his toddler out for a mini adventure" yang ditulis Steven Chow awal Maret 2016. Karena anak lelaki saya tidak dalam kategori "toddler" (1-3 tahun), perwujudan niat saya ini bisa disebut terlambat.
Namun, sekali lagi, lebih baik terlambat daripada terlambat banget. Begitu pembelaan saya. Mau mengajak anak ketiga, dia masih menyusui alias belum bisa pisah berhari-hari dari ibunya.
Mau mengajak anak pertama saya untuk urusan ini, terlambat banget karena dia sudah beranjak remaja dan mulai asyik dengan teman-temannya.
Ajakan terbuka
Kepada anak saya, ajakan ikut touring saya sampaikan terbuka berikut konsekuensinya. Tidak ada paksaan. Saya gembira karena untuk perjalanan jauh ini anak saya berminat.
Rencana kami susun termasuk menyikapi kemungkinan yang bisa timbul sebagai konsekuensi perjalanan yang tidak sepenuhnya bisa kami kendalikan.
Pada pokok ini, kami belajar kecil-kecilan tentang bagaimana mengelola kekecewaan dalam menghadapi situasi ketidakpastian. Ada harapan. Namun, kenyataan kerap tidak sesuai dengan harapan.
Soal harapan sampai di Yogyakarta sebelum malam misalnya, tidak sesuai kenyataan. Kami yang berangkat dari Jakarta selepas subuh via pantai utara Jawa, tiba di Yogyakarta tengah malam.
Di jalan, ada banyak perhentian entah karena gangguan kecil pada kendaraan atau karena hal-hal lain di luar dugaan, seperti pemandangan indah yang membuat kami ingin berlama-lama menikmati perjalanan. Ketidakpastian kerap juga memunculkan kejutan menyenangkan.
Perjalanan sekitar 20 jam membuat kami intens bercakap-cakap. Hal yang amat jarang bisa kami lakukan dengan intensitas seperti ini.
Sebagai pekerja, waktu tempuh ke tempat kerja dan pulang ke rumah menyita banyak waktu untuk bercakap-cakap dengan anak-anak setiap hari. Kami yang tinggal di sekitar Jakarta mengalami hal ini.
Meskipun menjelang malam saya lihat ada kekecewaan lantaran belum juga sampai Yogyakarta, anak saya bisa menerima alasannya.
Kebersamaan dan bantu membantu di perjalanan membuat kami menanggalkan ego untuk segera tiba di Yogyakarta. Kesulitan teman perjalanan adalah kesulitan bersama untuk diatasi.
Kerap abai sebagai ayah
Meskipun anak lelaki tujuh tahun sudah bisa "mandiri", pengawasan dan campur tangan orang lain bukan tidak diperlukan. Persoalan sederhana seperti tidur, bangun tidur, mandi, dan gosok gigi misalnya diperlukan campur tangan orang lain. Juga soal makan dan jenis makanan. Begitu juga soal pengaturan waktu untuk sejumlah kegiatan.
Untuk urusan-urusan ini, sebagai ayah yang bekerja, saya kerap abai dan menyerahkan semua pada istri. Namun, saat kami hanya berdua bepergian untuk waktu yang cukup lama, urusan-urusan yang tampaknya sepele ini ternyata tidak mudah juga. Kemampuan persuasi dan kesabaran menjadi tuntutan di sini.
Dalam kerepotan ini, hal-hal terkait anak yang biasanya saya hindari dengan alasan pekerjaan, harus saya hadapi. Tidak mudah dan kerap menguras energi.
Kamar berantakan sudah pasti. Ingatan saya lantas tertuju pada istri dan ibu-ibu lain yang setiap hari mereka menghadapi kerepotan yang tidak mudah ini. Empati muncul di sini.
Namun, petualangan dengan anak sendirian tidak melulu berisi hal-hal yang tidak mudah dan membuat pening. Ada saat-saat kebersamaan yang intens dan itu menyenangkan. Kami lantas saling mengenal lebih dalam.
Ketika bersepeda tandem keliling Museum Vredeberg dan menyaksikan Presiden Joko Widodo keluar dari Gedong Agung dan melambaikan tangan kami berbagi tawa. Saat ke Pantai Parangkusumo, Bantul, kami bermain pasir sampai lupa waktu.
Juga ketika ikut lava tour di Gunung Merapi, saya kelelahan meladeni keinginan anak saya yang antusias naik sampai ujung bukit tempat bungker dibangun.
Tumbuhkan empati
Dua hari kami habiskan waktu hanya di Yogyakarta. Dalam dua hari, perubahan saya rasakan. Perubahan paling nyata adalah perubahan kesadaran bahwa selama ini saya kurang mengenal anak saya.
Kesabaran saya menghadapi anak juga jauh dari yang saya duga dan harapkan. Perjalanan ini sejatinya memang untuk saya pertama-tama.
Hal yang lebih kurang sama dialami beberapa teman saya yang ikut "Jogja Mini Touring" ini. Ronny Jauw, misalnya, yang membawa serta dua anaknya berusia tujuh tahun dan empat tahun tanpa istri.
Bagi Ronny, bepergian bersama anak-anak merupakan kesempatan mendekatkan diri dan memahami anak-anak dari kacamata mereka secara lebih intens serta memahami bagaimana "repotnya" seorang istri.
Kesadaran yang muncul karena pengalaman ini mengubah bagaimana saya berinteraksi dengan anak saya ketika perjalanan kembali dari Yogyakarta ke Jakarta via pantai utara Jawa. Dalam perjalanan itu, hormat saya kepada istri dan ibu-ibu di mana pun juga bertambah.
Karena kesadaran atas pengalaman ini, saya sepakat dengan apa yang ditulis dan menjadi kesadaran Chow. Jika hendak membuat suami Anda memahami bagaimana rasanya menjadi istri atau ibu, yakinkan suami Anda untuk membuat petualangan atau perjalanan dengan anak-anak sendiri tanpa istri.
Untuk memulai hal ini, lebih baik terlambat daripada terlambat banget.
Oh ya, di lebih dari dari 80 negara, Minggu (8/5/2016) kemarin, diperingati sebagai Hari Ibu. Di Indonesia, kita punya tradisi sendiri tiap 22 Desember. Mengingat pentingnya peran ibu untuk sebuah generasi, makin kerap kita mengingat dan merayakannya makin baik menurut saya.
Selamat Hari Ibu. Selamat merencanakan petualangan bersama anak-anak Anda tanpa ibunya.
Sumber:http://sains.kompas.com/read/2016/05/09/07350231/Kenapa.Ayah.Perlu.Bertualang.bersama.Anak.Tanpa.Ibunya.
"Lebih baik terlambat daripada terlambat banget." Begitu guyonan yang saya jumpai di kaus oblong yang dijajakan di emperan toko Jalan Malioboro, Yogyakarta, dan laris dibeli wisatawan, Kamis (5/5/2016) lalu.
Oblong itu laris tidak hanya karena harganya Rp 25.000, tetapi lantaran pesannya membuat rileks. Beberapa orang wisatawan yang melintas tersenyum sebelum memutuskan membeli oblong itu.
Rasa bersalah karena tuntutan ketepatan waktu di dunia yang hitung-hitungan dan diwarnai ketegangan, berkurang setelah membaca tulisan di oblong itu. Yogyakarta lihai untuk kejenakaan menertawakan kecenderungan dunia macam begini.
Saya juga tersenyum ketika mendapati tulisan di oblong itu. Tulisan di oblong itu mewakili semangat saya untuk menghabiskan waktu libur empat hari "hanya" bersama salah satu anak lelaki saya yang usianya tujuh tahun.
Antara 4-8 Mei 2016, saya habiskan sebagian besar waktu bersama anak lelaki saya dalam rangkaian "Jogja Mini Touring".
Betul bahwa kami tidak sendiri. Ada 18 mini klasik buatan tahun 1961-1990 yang ikut serta menempuh rute sejauh 1.500 kilometer dari Jakarta-Yogyakarta-Jakarta.
Namun, dalam perjalanan dan rangkaian kegiatan termasuk bakti sosial itu, saya lebih banyak memilih berdua saja dengan anak lelaki saya karena niat yang sudah saya tetapkan.
Niat itu muncul sejak lama meskipun kerap tenggelam. Niat itu muncul lagi dan seperti minta diwujudkan setelah saya membaca artikel "Why every father should bring his toddler out for a mini adventure" yang ditulis Steven Chow awal Maret 2016. Karena anak lelaki saya tidak dalam kategori "toddler" (1-3 tahun), perwujudan niat saya ini bisa disebut terlambat.
Namun, sekali lagi, lebih baik terlambat daripada terlambat banget. Begitu pembelaan saya. Mau mengajak anak ketiga, dia masih menyusui alias belum bisa pisah berhari-hari dari ibunya.
Mau mengajak anak pertama saya untuk urusan ini, terlambat banget karena dia sudah beranjak remaja dan mulai asyik dengan teman-temannya.
Ajakan terbuka
Kepada anak saya, ajakan ikut touring saya sampaikan terbuka berikut konsekuensinya. Tidak ada paksaan. Saya gembira karena untuk perjalanan jauh ini anak saya berminat.
Rencana kami susun termasuk menyikapi kemungkinan yang bisa timbul sebagai konsekuensi perjalanan yang tidak sepenuhnya bisa kami kendalikan.
Pada pokok ini, kami belajar kecil-kecilan tentang bagaimana mengelola kekecewaan dalam menghadapi situasi ketidakpastian. Ada harapan. Namun, kenyataan kerap tidak sesuai dengan harapan.
Soal harapan sampai di Yogyakarta sebelum malam misalnya, tidak sesuai kenyataan. Kami yang berangkat dari Jakarta selepas subuh via pantai utara Jawa, tiba di Yogyakarta tengah malam.
Di jalan, ada banyak perhentian entah karena gangguan kecil pada kendaraan atau karena hal-hal lain di luar dugaan, seperti pemandangan indah yang membuat kami ingin berlama-lama menikmati perjalanan. Ketidakpastian kerap juga memunculkan kejutan menyenangkan.
Perjalanan sekitar 20 jam membuat kami intens bercakap-cakap. Hal yang amat jarang bisa kami lakukan dengan intensitas seperti ini.
Sebagai pekerja, waktu tempuh ke tempat kerja dan pulang ke rumah menyita banyak waktu untuk bercakap-cakap dengan anak-anak setiap hari. Kami yang tinggal di sekitar Jakarta mengalami hal ini.
Meskipun menjelang malam saya lihat ada kekecewaan lantaran belum juga sampai Yogyakarta, anak saya bisa menerima alasannya.
Kebersamaan dan bantu membantu di perjalanan membuat kami menanggalkan ego untuk segera tiba di Yogyakarta. Kesulitan teman perjalanan adalah kesulitan bersama untuk diatasi.
Kerap abai sebagai ayah
Meskipun anak lelaki tujuh tahun sudah bisa "mandiri", pengawasan dan campur tangan orang lain bukan tidak diperlukan. Persoalan sederhana seperti tidur, bangun tidur, mandi, dan gosok gigi misalnya diperlukan campur tangan orang lain. Juga soal makan dan jenis makanan. Begitu juga soal pengaturan waktu untuk sejumlah kegiatan.
Untuk urusan-urusan ini, sebagai ayah yang bekerja, saya kerap abai dan menyerahkan semua pada istri. Namun, saat kami hanya berdua bepergian untuk waktu yang cukup lama, urusan-urusan yang tampaknya sepele ini ternyata tidak mudah juga. Kemampuan persuasi dan kesabaran menjadi tuntutan di sini.
Dalam kerepotan ini, hal-hal terkait anak yang biasanya saya hindari dengan alasan pekerjaan, harus saya hadapi. Tidak mudah dan kerap menguras energi.
Kamar berantakan sudah pasti. Ingatan saya lantas tertuju pada istri dan ibu-ibu lain yang setiap hari mereka menghadapi kerepotan yang tidak mudah ini. Empati muncul di sini.
Namun, petualangan dengan anak sendirian tidak melulu berisi hal-hal yang tidak mudah dan membuat pening. Ada saat-saat kebersamaan yang intens dan itu menyenangkan. Kami lantas saling mengenal lebih dalam.
Ketika bersepeda tandem keliling Museum Vredeberg dan menyaksikan Presiden Joko Widodo keluar dari Gedong Agung dan melambaikan tangan kami berbagi tawa. Saat ke Pantai Parangkusumo, Bantul, kami bermain pasir sampai lupa waktu.
Juga ketika ikut lava tour di Gunung Merapi, saya kelelahan meladeni keinginan anak saya yang antusias naik sampai ujung bukit tempat bungker dibangun.
Tumbuhkan empati
Dua hari kami habiskan waktu hanya di Yogyakarta. Dalam dua hari, perubahan saya rasakan. Perubahan paling nyata adalah perubahan kesadaran bahwa selama ini saya kurang mengenal anak saya.
Kesabaran saya menghadapi anak juga jauh dari yang saya duga dan harapkan. Perjalanan ini sejatinya memang untuk saya pertama-tama.
Hal yang lebih kurang sama dialami beberapa teman saya yang ikut "Jogja Mini Touring" ini. Ronny Jauw, misalnya, yang membawa serta dua anaknya berusia tujuh tahun dan empat tahun tanpa istri.
Bagi Ronny, bepergian bersama anak-anak merupakan kesempatan mendekatkan diri dan memahami anak-anak dari kacamata mereka secara lebih intens serta memahami bagaimana "repotnya" seorang istri.
Kesadaran yang muncul karena pengalaman ini mengubah bagaimana saya berinteraksi dengan anak saya ketika perjalanan kembali dari Yogyakarta ke Jakarta via pantai utara Jawa. Dalam perjalanan itu, hormat saya kepada istri dan ibu-ibu di mana pun juga bertambah.
Karena kesadaran atas pengalaman ini, saya sepakat dengan apa yang ditulis dan menjadi kesadaran Chow. Jika hendak membuat suami Anda memahami bagaimana rasanya menjadi istri atau ibu, yakinkan suami Anda untuk membuat petualangan atau perjalanan dengan anak-anak sendiri tanpa istri.
Untuk memulai hal ini, lebih baik terlambat daripada terlambat banget.
Oh ya, di lebih dari dari 80 negara, Minggu (8/5/2016) kemarin, diperingati sebagai Hari Ibu. Di Indonesia, kita punya tradisi sendiri tiap 22 Desember. Mengingat pentingnya peran ibu untuk sebuah generasi, makin kerap kita mengingat dan merayakannya makin baik menurut saya.
Selamat Hari Ibu. Selamat merencanakan petualangan bersama anak-anak Anda tanpa ibunya.
Sumber:http://sains.kompas.com/read/2016/05/09/07350231/Kenapa.Ayah.Perlu.Bertualang.bersama.Anak.Tanpa.Ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar