Kamis, 30 April 2015

Mengajar anak berkebutuhan khusus, Mengajar Harus dengan Hati

Mengajar anak berkebutuhan khusus bukan perkara mudah. Perlu ada pengetahuan dan keterampilan khusus untuk menangani mereka, di samping pentingnya kerja sama dengan orang tua sang anak. Namun, satu hal yang patut dimiliki guru untuk mampu membantu tumbuh kembang dan pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah hati yang mengasihi!
Hati yang mengasihi itulah kunci Sangita Lachman, seorang dokter yang beralih profesi menjadi guru preschool – lembaga pendidikan pra sekolah. Pengalaman 12 tahun mengajar di beberapa preschool di Jepang dan Indonesia, membawa Sangita bertemu dengan anak-anak spesial yang memang memiliki kebutuhan khusus / Anak Berkebutuhan Khusus dalam proses tumbuh kembang mereka.
Awal mula Sangita terjun ke dunia pendidikan anak pra sekolah atau preschool, adalah ketika ia mengikuti suami yang bekerja di Jepang. Sebelumnya, wanita berdarah India ini adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Untuk mengisi waktunya di negeri Sakura itu, Sangita melamar sebagai guru di sebuah preschool internasional.
Lima tahun mengajar anak-anak balita di Jepang sudah cukup membuat Sangita jatuh cinta pada profesi guru anak-anak usia dini atau kelompok bermain atau biasa disebut preschool.
Saat pulang ke tanah air, Sangita memilih menjadi guru preschool dibanding kembali melanjutkan profesinya sebagai dokter. “Saya merasa bahagia mengajar anak-anak ini / nak Berkebutuhan Khusus , dan tidak pernah stress ketika menjadi guru,” ujar Sangita.
“Ada ‘passion’ tersendiri saat mengajar anak-anak, membimbing dan membantu mereka hingga bisa lebih mandiri saat memasuki jenjang pendidikan berikutnya,” lanjut Sangita.
Sejak mengajar di preschool inilah, Sangita mendapat pengalaman menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus dan kerap melihat bagaimana pihak sekolah kesulitan menangani anak-anak tersebut.
Pada banyak kasus, Sangita melihat sekolah bukannya mencari solusi terbaik bagi penanganan anak-anak spesial tersebut, namun sekolah cenderung mengabaikan keadaan sang anak yang memang membutuhkan perhatian khusus dari penyelenggara sekolah.
“Saya pernah menemukan anak hiperaktif yang tak bisa diam diikat kakinya, karena terus lari-lari. Lalu ada yang mendapat hukuman disuruh duduk di time-out chair (kursi isolasi, red) karena dianggap mengganggu temannya. Menurut saya mereka (anak-anak spesial ini, red) telah menjadi korban atas ketidakmengertian para guru,” jelas Sangita dengan nada prihatin.
Bagi Sangita, meski anak-anak tersebut berbeda dengan anak pada umumnya, penting bagi guru-guru dan para penyelenggara sekolah lainnya untuk memandang mereka selayaknya anak-anak yang unik tiap individunya ,katanya

(berbagai sumber)

Bookmark and Share
Artikel yang berhubungan :

0 komentar:

Posting Komentar

MULTI TAB 1

Pentas Seni & Perpisahan

Pentas Seni & Perpisahan

MULTI TAB 2

Kegiatan Kartinian

Kegiatan Kartinian

MULTI TAB 3

anoman

anoman

MULTI TAB 4

perpisahan

perpisahan

MULTI TAB 5

kartinian 2

kartinian 2


MULTI TAB 6

1

Entri Populer

MULTI TAB 7

Headline

">

MULTI TAB 9

Buku Tamu

MULTI TAB 10

Daftar Blog Saya

MULTI TAB 11




 
KEMBALI KEATAS
') }else{document.write('') } }