Mengajar anak berkebutuhan khusus bukan perkara mudah. Perlu
ada pengetahuan dan keterampilan khusus untuk menangani mereka, di samping
pentingnya kerja sama dengan orang tua sang anak. Namun, satu hal yang patut
dimiliki guru untuk mampu membantu tumbuh kembang dan pendidikan anak
berkebutuhan khusus adalah hati yang mengasihi!
Hati yang mengasihi itulah kunci Sangita Lachman, seorang
dokter yang beralih profesi menjadi guru preschool – lembaga pendidikan pra
sekolah. Pengalaman 12 tahun mengajar di beberapa preschool di Jepang dan
Indonesia, membawa Sangita bertemu dengan anak-anak spesial yang memang
memiliki kebutuhan khusus / Anak Berkebutuhan Khusus dalam proses tumbuh
kembang mereka.
Awal mula Sangita terjun ke dunia pendidikan anak pra
sekolah atau preschool, adalah ketika ia mengikuti suami yang bekerja di
Jepang. Sebelumnya, wanita berdarah India ini adalah seorang dokter di sebuah
rumah sakit swasta di Jakarta. Untuk mengisi waktunya di negeri Sakura itu,
Sangita melamar sebagai guru di sebuah preschool internasional.
Lima tahun mengajar anak-anak balita di Jepang sudah cukup
membuat Sangita jatuh cinta pada profesi guru anak-anak usia dini atau kelompok
bermain atau biasa disebut preschool.
Saat pulang ke tanah air, Sangita memilih menjadi guru
preschool dibanding kembali melanjutkan profesinya sebagai dokter. “Saya merasa
bahagia mengajar anak-anak ini / nak Berkebutuhan Khusus , dan tidak pernah
stress ketika menjadi guru,” ujar Sangita.
“Ada ‘passion’ tersendiri saat mengajar anak-anak, membimbing
dan membantu mereka hingga bisa lebih mandiri saat memasuki jenjang pendidikan
berikutnya,” lanjut Sangita.
Sejak mengajar di preschool inilah, Sangita mendapat
pengalaman menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus dan kerap melihat
bagaimana pihak sekolah kesulitan menangani anak-anak tersebut.
Pada banyak kasus, Sangita melihat sekolah bukannya mencari
solusi terbaik bagi penanganan anak-anak spesial tersebut, namun sekolah
cenderung mengabaikan keadaan sang anak yang memang membutuhkan perhatian
khusus dari penyelenggara sekolah.
“Saya pernah menemukan anak hiperaktif yang tak bisa diam
diikat kakinya, karena terus lari-lari. Lalu ada yang mendapat hukuman disuruh
duduk di time-out chair (kursi isolasi, red) karena dianggap mengganggu temannya.
Menurut saya mereka (anak-anak spesial ini, red) telah menjadi korban atas
ketidakmengertian para guru,” jelas Sangita dengan nada prihatin.
Bagi Sangita, meski anak-anak tersebut berbeda dengan anak
pada umumnya, penting bagi guru-guru dan para penyelenggara sekolah lainnya
untuk memandang mereka selayaknya anak-anak yang unik tiap individunya ,katanya
(berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar