SEMARANG - Gagasan yang dilontarkan Mendikbud, Muhadjir Effendy, tentang full day school di SD-SMP atau sehari penuh di sekolah, dinilai tidak efektif. Bahkan akan mengancam kegiatan pendidikan keagamaan yang biasa digelar sore, semisal Tempat Pendidikan Alquran (TPA).
Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), KH Abdul Ghaffar Rozin mengatakan, jika wacana full day school di tingkat SD-SMP diterapkan maka akan berdampak serius pada TPA. Di Jateng saja setidaknya terdapat sekitar 19 ribu TPA yang menyelenggarakan kegiatan sore.
"Ketika full day school diberlakukan secara massif, saya kira angka itu yang akan terancam," tegasnya, Selasa (9/8/2016).
Pengasuh Ponpes Maslakul Huda Kabupaten Pati, Jateng ini mengatakan, pihaknya sejauh ini belum memposisikan menolak ataupun menerima gagasan Mendikbud. Namun ia sarankan agar dilakukan kajian lebih komprehensif mengenai dampak sosial dan sebagainya.
"Harus dilihat implikasi sosialnya, jangan-jangan nanti Sabtu nganggur justru tidak terkontrol, karena orangtuanya sibuk kerja," katanya.
Selain itu, jika memang diterapkan maka pelaksanaannya diminta tidak langsung serentak. Karena full day school memang cocok untuk masyarakat di perkotaan yang para orangtuanya sangat sibuk. Namun untuk di pedesaan dinilai belum membutuhkan.
"Kalau di daerah seperti Kabupaten di Jawa Tengah, kok belum ada yang membutuhkan full day school," katanya.
Ketua Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) Jawa Tengah, Muh Zen Adv mengatakan, pihaknya menolak adanya gagasan Mendikbud tersebut. Sebab dari hasil evaluasi adanya penerapan lima hari sekolah di tingkat SMA/SMK di Jateng, 80 persen kegiatan belajar mengajar tidak efektif.
"Para psikolog juga merekomendasi bahwa materi pelajaran yang diberikan ke siswa setelah pukul 13.00 wib, tidak bisa diserap secara maksimal. Ini justru membahayakan pendidikan. Secara psikologis dan sosial banyak mudharatnya," tegas Zen.
Anggota Komisi E DPRD Jateng ini, juga berpendapat, gagasan Mendikbud itu dapat mematikan kelangsungan TPA. Jika Mendikbud berpandangan pihak sekolah bisa menunjuk guru agama untuk memberikan pembelajaran di sekolah, menurutnya tidak akan maksimal.
Sebab proses pendidikan di TPA bukan hanya mempelajari bacaan Alquran saja, tapi juga pendidikan karakter dan budi pekerti. "Dan masih banyak faktor lain," ujarnya. ( Tribun )
Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), KH Abdul Ghaffar Rozin mengatakan, jika wacana full day school di tingkat SD-SMP diterapkan maka akan berdampak serius pada TPA. Di Jateng saja setidaknya terdapat sekitar 19 ribu TPA yang menyelenggarakan kegiatan sore.
"Ketika full day school diberlakukan secara massif, saya kira angka itu yang akan terancam," tegasnya, Selasa (9/8/2016).
Pengasuh Ponpes Maslakul Huda Kabupaten Pati, Jateng ini mengatakan, pihaknya sejauh ini belum memposisikan menolak ataupun menerima gagasan Mendikbud. Namun ia sarankan agar dilakukan kajian lebih komprehensif mengenai dampak sosial dan sebagainya.
"Harus dilihat implikasi sosialnya, jangan-jangan nanti Sabtu nganggur justru tidak terkontrol, karena orangtuanya sibuk kerja," katanya.
Selain itu, jika memang diterapkan maka pelaksanaannya diminta tidak langsung serentak. Karena full day school memang cocok untuk masyarakat di perkotaan yang para orangtuanya sangat sibuk. Namun untuk di pedesaan dinilai belum membutuhkan.
"Kalau di daerah seperti Kabupaten di Jawa Tengah, kok belum ada yang membutuhkan full day school," katanya.
Ketua Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) Jawa Tengah, Muh Zen Adv mengatakan, pihaknya menolak adanya gagasan Mendikbud tersebut. Sebab dari hasil evaluasi adanya penerapan lima hari sekolah di tingkat SMA/SMK di Jateng, 80 persen kegiatan belajar mengajar tidak efektif.
"Para psikolog juga merekomendasi bahwa materi pelajaran yang diberikan ke siswa setelah pukul 13.00 wib, tidak bisa diserap secara maksimal. Ini justru membahayakan pendidikan. Secara psikologis dan sosial banyak mudharatnya," tegas Zen.
Anggota Komisi E DPRD Jateng ini, juga berpendapat, gagasan Mendikbud itu dapat mematikan kelangsungan TPA. Jika Mendikbud berpandangan pihak sekolah bisa menunjuk guru agama untuk memberikan pembelajaran di sekolah, menurutnya tidak akan maksimal.
Sebab proses pendidikan di TPA bukan hanya mempelajari bacaan Alquran saja, tapi juga pendidikan karakter dan budi pekerti. "Dan masih banyak faktor lain," ujarnya. ( Tribun )
0 komentar:
Posting Komentar